Mungkin ada yang tahu ataupun bahkan tidak tahu sama sekali istilah tersebut.
Secara harfiah, bios artinya hidup dan farmaka artinya obat, jadi dapat diartikan bahwa biofarmaka adalah obat yang berasal dari sesuatu yang hidup. Yang dapat dimanfaatkan dari tumbuhan bifarmaka adalah daunnya, rimpangnya, buahnya, bijinya, dan akarnya. Beruntunglah kita tinggal di negara Indonesia. Menurut sumber terpercaya, Indonesia memiliki lebih dari 30.000 spesies tumbuhan, dimana 940 spesies diantaranya termasuk tumbuhan berkhasiat obat. Dari jumlah tersebut, 180 spesies telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional. Woow, dengan jumlahnya yang begitu banyak seharusnya kita dapat memanfaatkan kekayaan itu dengan sebaik mungkin.
Pada praktikum Agribisnis Non Pangan beberapa minggu kemarin, kelompok kami membahas mengenai sektor pengolahan dan minat konsumen terhadap produk biofarmaka Indonesia. Tapi, materi diskusi yang dibahas adalah "Bagaimana Meningkatkan Kesejahteraan Petani Jahe".
Tahu nggak sih? jahe merupakan komoditi biofarmaka yang paling banyak diekspor oleh negara kita loh. Jahe itu ada 3 macam, jahe putih besar (jahe gajah), jahe putih kecil, dan jahe merah. Tanaman ini sangat berkhasiat untuk tubuh kita, terutama untuk menghangatkan badan. Selain itu, jahe juga dapat mengobati beberapa jenis penyakit. namun pada kenyataannya, perkembangan agribisnis jahe ini terhambat. Ada beberapa kendala yang menyebabkan hal itu terjadi, diantaranya:
- Sumber daya manusia yang kurang. Produksi jahe di Indonesia saat ini tidak terlalu banyak. Hal itu disebabkan kurangnya minat masyarakat untuk menanam jahe. Mereka mungkin tidak tahu nilai ekonomi dari jahe, kemana mereka akan memasarkan jahe, dan sebagainya. Sehingga tidak heran jika hanya sedikit saja petani yang terjun dalam dunia jahe.
- Keterampilan tradisional. Sebagian besar petani jahe melakukan cara penanaman secara tradisional. Menurut salah satu praktikan, mutu jahe yang dihasilkan saat ini kurang memenuhi standar kualitas karena bibit jahe yang dipakai oleh petani tidak unggul dan hanya mengandalkan bibit yang dipakai secara turun temurun. Induknya saja sudah tidak bagus, apalagi anakannya.
- Memposisikan (motif bisnis) jahe sebagai usaha sampingan. Adapun motif dari sebagian petani jahe saat ini tidak memposisikan budidaya jahe sebagai mata pencaharian utama, melainkan sebagai mata pencaharian sampingan. Oleh karena itu, petani tidak terlalu fokus dalam budidaya jahe tersebut.
- Kepemilikan lahan. Kepemilikan lahan penanaman jahe saat ini 97% adalah perkebunan rakyat. Tapi sayangnya lahan yang mereka miliki biasanya hanya berkisar 0,2 sampai 1 hektar saja. Ini merupakan masalah yang paling krusial.
Terlepas dari hal di atas, pemerintah juga kurang memperhatikan kesejahteraan petani jahe, terutama dalam masalah subsidi pupuk. Padahal prospek pengembangan jahe sangat menjanjikan. Apalagi dengan adanya tren di masyarakat yang back to nature.
Petani jahe bisa sejahtera? Tentu saja bisa. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain:
- Pengorganisasian (Gapoktan). Kendala utama dalam hal ini adalah kepemilikan lahan. Umumnya petani yang luas lahannya kurang dari 2 hektar sulit untuk memasarkan jahenya dikarenakan pembeli mau membeli jahe namun dalam skala besar. Sehingga pembentukan gapoktan jahe perlu dilakukan agar petani dapat memasarkan produknya melalui gapoktan, memudahkan akses informasi, memudahkan dalam penyediaan pupuk sehingga lebih terorganisir.
- Kebijakan (Isu), edukasi masyarakat. kurangnya gebrakan mengenai jahe membuat kurang eksisnya jahe di lingkungan masyarakat. Oleh karen itu diperlukan kebijakan pemerintah yang menganjurkan masyarakatnya mengkonsumsi bentuk olahan jahe yang kaya akan khasiat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar